Pengetahuan Seputar Islam

Senin, 18 Februari 2019

Sejarah Islam di Nusantara


4 Teori masuknya Islam di Indonesia 

Pedagang Islam


sebelum menjadi agama yang paling banyak dianut oleh orang Indonesia, Islam adalah salah satu agama yang diperkirakan datang karena adanya pedagang yang singgah di Nusantara Squad. Lalu, bagaimana ya awal mula Islam masuk ke Nusantara? Supaya lebih jelas, yuk simak penjelasan tentang 4 teori masuknya Islam ke Nusantara.

Pedagang Arab (sumber: tugassekolah.com)
Para ahli sejarah memberikan 4 teori bagaimana proses masuknya Islam ke Nusantara. Masing-masing teori dijelaskan berdasarkan rentan waktu yang berbeda. Mulai dari abad ke 7, hingga ada pula yang menyebutkan abad ke 13Nahapa saja ya teori-teori yang dimaksud? 

Teori Gujarat
Teori ini beranggapan bahwa agama dan kebudayaan Islam dibawa oleh para pedagang dari daerah Gujarat, India yang berlayar melewati selat Malaka. Teori ini menjelaskan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara sekitar abad ke 13, melalui kontak para pedagang dan kerajaan Samudera Pasai yang menguasai selat Malaka pada saat itu.
Teori ini juga diperkuat dengan penemuan makam Sultan Samudera Pasai, Malik As-Saleh pada tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh S. Hurgronje dan J. Pijnapel.

Makam Malik As Saleh
Makam Sultan Malik As-Saleh (sumber: steemit.com)
2. Teori Persia
Umar Amir Husen dan Hoesein Djadjadiningrat berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui parapedagang yang berasal dari Persia, bukan dari Gujarat. Persia adalah sebuah kerajaan yang saat ini kemungkinan besar berada di Iran.

Teori ini tercetus karena pada awal masuknya Islam ke Nusantara di abad ke 13, ajaran yang marak saat itu adalah ajaran Syiah yang berasal dari Persia. Selain itu, adanya beberapa kesamaan tradisi Indonesia dengan Persiadianggap sebagai salah satu penguat.
Contohnya adalah peringatan 10 Muharam Islam-Persia yang serupa dengan upacara peringatan bernamaTabuik/Tabut di beberapa wilayah Sumatera (Khususnya Sumatera Barat dan Jambi).
Tabuik
Prosesi Acara Tabuik (sumber: wartakepri.co.id)
3. Teori China
Lain halnya dengan Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby,mereka berpendapat bahwa sebenarnya kebudayaan Islam masuk ke Nusantara melalui perantara masyarakat muslim China.
Teori ini berpendapat, bahwa migrasi masyarakat muslim China dari Kanton ke Nusantara, khususnya Palembang pada abad ke 9 menjadi awal mula masuknya budaya Islam ke Nusantara. Hal ini dikuatkan dengan adanya bukti bahwaRaden Patah (Raja Demak) adalah keturunan China, penulisan gelar raja-raja Demak dengan istilah China, dan catatan yang menyebutkan bahwa pedagang China lah yang pertama menduduki pelabuhan-pelabuhan di Nusantara.
4. Teori Mekkah
Dalam teori ini dijelaskan bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung oleh para musafir dari Arab yang memiliki semangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia pada abad ke 7. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah perkampungan Arab di Barus, Sumatera Utara yang dikenal dengan nama Bandar Khalifah.

Selain itu, di Samudera Pasai mahzab yang terkenal adalah mahzab Syafi’i. Mahzab ini juga terkenal di Arab dan Mesir pada saat itu. Kemudian yang terakhir adalah digunakannya gelar Al-Malik pada raja-raja Samudera Pasai seperti budaya Islam di Mesir. Teori inilah yang paling benyak mendapat dukungan para tokoh seperti, Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, dan Buya Hamka


  Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara 

 

5. pendapat ismail farjie

Menurut Ismail Farjie Alatas, sebagai konsekuesi dari keberadaan Malaka, adalah terbentuknya divisi pelayaran dalam tiga rute yang lebih singkat. Barang-barang dari pantai Arabia dibawa oleh para pedagang Arab ke pelabuhan Cambay di Gujarat dan diambil alih oleh para pedagang Gujarat yang membawanya ke Malaka. Dari Malaka, kemudian barang-barang tersebut dibawa oleh para pedagang China ke daratan Tiongkok. Disintegrasi rute perdagangan langsung ini berdampak positif bagi para pedagang. Selain mereduksi waktu pelayaran, disintegrasi juga berarti percepatan pengembalian modal dagang.

6. Dampak yang Ditimbulkan

Salah satu dampak dari situasi di atas, pada abad ke-16 kesultanan Gujarat dan Malaka mencapai zaman keemasannya. Kerajaan-kerajaan di kedua wilayah ini memiliki pandangan yang terbuka dan kosmopolitan. Guna meningkatkan reputasinya, para sultan mulai mengundang dan membiayai kehidupan para ulama dari berbagai kawasan di Samudera Hindia. Mereka diminta mengajar dan menjaga fungsi hukum Islam. Dalam kondisi inilah kemudian, para keturunan Arab, khususnya yang berasal dari Hadramaut atau kaum Alawiyin, mulai menancapkan eksistensinya secara regional.
Sebagaimana yang diungkapkan Ismail Fajrie Alatas, “Kesuksesan perdagangan internasional dan terbentuknya jaringan ulama tidak hanya membantu proses Islamisasi, namun juga mengubah karakter kota-kota pelabuhan menjadi ranah interkoneksi yang berbudaya tinggi sekaligus cair. Sebuah ranah hibrida dimana ‘rute’ hidup dan pengalaman belajar di beberapa tempat berbeda menjadi sama penting, atau malah lebih penting, dari asal usul geografis. Walaupun Malaka akhirnya diduduki oleh Portugis di awal abad ke-16, fungsi kulturalnya dilanjutkan oleh beberapa kesultanan lain, seperti Aceh. Alhasil, abad ke-16 menyaksikan terbentuknya sebuah ranah sosio-kultural kosmopolitan yang dapat dilukiskan – menggunakan terminologi sejarawan Marshall Hodgson – sebagai ‘Islamicate’. Ranah kelautan yang didominasi oleh perdagangan internasional dan jaringan ulama inilah yang menghubungkan kota-kota dari kawasan Hijaz hingga ke Kepulauan Nusantara dalam sebuah untaian kultural. Dalam ranah inilah, komunitas Hadrami – khususnya kaum Sayid – mulai mengambil peran.”

7. Faktor yang Memmengaruhi

Masih menurut Ismail Fajrie Alatas, ada beberapa faktor yang memfasilitasi kaum Alawiyin untuk bermukim di banyak wilayah kawasan Samudera Hindia dan memudahkan mereka mendaki tangga sosial. Pertama, kemampuan bepergian yang dimudahkan oleh jaringan perdagangan. Kedua, hubungan intelektual mereka dengan jaringan ulama yang menjadikan mereka bagian dari sebuah komunitas intelektual internasional, sehingga kadar keulamaan mereka mudah dikenali. Dalam hal ini, faktor terpenting adalah keanggotaan mereka dalam mahzab Syafi’i yang mendominasi pesisir Samudera Hindia. Ketiga, penguasaan terhadap bahasa dan sastra Arab menjamin penghormatan para penguasa kepada mereka. Keempat, karakter kosmopolitan dari lokalitas tempat mereka berimigrasi memudahkan mereka berintegrasi dengan masyarakat tanpa harus dicap sebagai golongan asing. Lautan Nusantara, contohnya, adalah sebuah ranah “pluralisme cair”.

Namun menurut Ismail Fajrie Alatas, faktor terpenting yang memfasilitasi proses integrasi Kaum Alawiyin di kawasan Samudera Hindia, terlebih lagi Nusantara, adalah sisilah mereka. Silsilah kaum Alawiyin yang bersambung ke Rasulullah SAW merupakan satu hal yang prestisius di mata para sultan Melayu, yang menganggap diri mereka sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain yang namanya tersebut dalam al-Quran.

8. Pandangan struktural




Dalam pandangan struktural yang berbasis silsilah ini, kedudukan kaum Alawiyin yang bersambung hingga Rasulullah SAW, dianggap lebih prestisius dari sultan-sultan Melayu. Bingkai kekerabatan ini, menyediakan jalur cepat bagi kaum Alawiyin memanjat tangga sosial melalui perkawinan dengan para keluarga kerajaan. Silsilah emas yang mereka miliki, dianggap sebagai “hadiah berharga” yang diberikan kaum Alawiyin kepada para penguasa lokal di Nusantara

9. Dari generasi ke Generasi

Pada tahap selanjutnya, melalui hasil perkawinan dua sisilah ningrat tersebut, kemudian melahirkan generasi kedua kaum Alawiyin yang menurut Ismail Fajrie Alatas memiliki karakter dasar hibrida. Karakter dasar ini yang kemudian mendukung proses terbentuknya kultur ‘Hadrami hibrida’ di Nusantara. Dalam proses interaksinya dengan kehidupan masyarakat di Nusantara, mereka menduduki posisi-posisi penting dalam urusan politik dan kemasyarakatan. Pada sekitar abad ke-18, para keturunan Alawiyin ini sudah umum terlihat menjalani berbagai profesi penting, mulai dari ulama, pedagang, penguasa lokal, dan bahkan Sultan.

10. Pengaruhnya

Keberadaan mereka pada posisi-posisi penting tersebut, menjadikan kultur hadrami hibrida sangat mewarnai kebudayaan sosial masyarakat, pendidikan, nilai-nilai spiritual, perekonomian, hingga keputusan-keputusan politik di Nusantara. Tanpa bermaksud mengecilkan kiprah dari kelompok masyarakat lainnya di Nusantara, secara spekulatif penulis menilai bahwa kehadiran kaum Alawiyin yang merata dan berpengaruh di hampir setiap kepulauan besar di Nusantara inilah yang menjadi racikan pertama anatomi keindonesiaan hari ini. (AL)

Sumber :
https://www.google.com/amp/s/blog.ruangguru.com/4-teori-masuknya-islam-ke-nusantara%3fhs_amp=true#ampshare=https://blog.ruangguru.com/4-teori-masuknya-islam-ke-nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Fire in PC

Guide menginstall Emulator Free Fire di PC! Free Fire  adalah salah satu battle royal